syariah@uinkhas.ac.id -

REKONSTRUKSI MODERASI BERAGAMA

Home >Berita >REKONSTRUKSI MODERASI BERAGAMA
Diposting : Kamis, 26 May 2022, 07:43:00 | Dilihat : 1203 kali
REKONSTRUKSI MODERASI BERAGAMA


Ahmad Deni Rofiqi

Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN KHAS Jember

Moderasi beragama jamak dipahami sebagai jalan menuju kerukunan, tetapi apakah jalan menuju kerukunan selalu berhubungan dengan ide moderasi beragama? Bagaimana jika moderasi beragama menjadi senjata untuk mengintimidasi “kelompok” yang dinilai berseberangan dengan moderasi beragama? Bukankah itu termasuk sebagai sikap anti-keragaman yang justru mengancam kebebasan keyakinan sesuai perintah UUD 1945?

Pertanyaan di atas penting dijawab, mengingat, fondasi moderasi beragama belum memiliki regulasi hukum yang jelas. Seperti kasus penendangan sesajen yang terjadi di Lumajang (area Gunung Semeru), misalnya. Apakah peristiwa ini termasuk sebagai cara pelaksanaan moderasi beragama bagi mereka yang menilai dirinya “moderat” terhadap individu atau kelompok yang dinilai “tidak moderat”? 

Jalan Terjal Moderatisme

Masalah laten sosial-keagamaan di Indonesia ialah maraknya perselisihan pendapat tentang keyakinan dan praktik beribadah yang kerap bermuara pada kontak fisik. Salahsatu pihak dirugikan karena sebagai korban kekerasan, dan pihak lainnya diuntungkan karena sebagai pelaku yang melabel individu atau kelompoknya ‘paling moderat’.

Akibat dari polarisasi kelompok yang terbelah karena perbedaan pandangan tersebut mengakibatkan tatanan masyarakat tidak rukun gara-gara label moderatisme. Mengapa soal moderatisme? Itu karena Muslim kita kerap menggunakan jargon moderatisme untuk melawan mereka yang dianggap radikal, liberal, sesat, dst. 

Ketika kelompok Muslim atau individu tidak lagi menghargai perbedaan tersebut, maka yang terjadi adalah ancaman ketidaksejahteraan yang diakibatkan oleh perbedaaan keyakinan. Padahal, bagaiamana pun juga, perbedaan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

Idealnya, profil Muslim moderat itu mencakup pada empat hal. Pertama, anti-kekerasan dalam menjalankan dakwahnya. Kedua, prinsip toleransi dalam menyikapi perbedaan. Ketiga, memiliki wawasan kebangsaan yang kukuh. Keempat, akomodatif terhadap tradisi lokal (Kemenag RI, 2019). Dengan demikian, andaikata materi ini dilaksanakan secara konstan, maka ciri moderatisme adalah praktik beragama yang nir-kekerasan. 

Sebagaimana kunci di awal tulisan ini, benarkah muara kerukunan selalu tentang moderatisme? Menengok pada praktik keagamaan di Indonesia, moderatisme agama belum bisa mengejawantahkan bentuk nilai dan ajarannya di akar rumput. Sebaliknya, yang terjadi hanya glorifikasi moderatisme sebagai identitas Ormas belaka. Tidak lebih dari itu. 

Jalan Keluar Masalah

Belajar dari fenomena praktik beragama pada tahun sebelumnya hingga awal Januari 2022, kebutuhan moderasi beragama jelas bukan hanya konseptualisasi tentang kerukunan belaka. Lebih dari itu, moderasi beragama butuh semacam rumusan tentang bagaimana memerangi ketimpangan sosial atas perebutan lahan atau bisnis ekstraktif di pelosok negeri.

Kasus tambang emas di Kabupaten Jember yang terancam dieksploitasi pada 2018, misalnya. Atau tambang emas di Tumpang Pitu Banyuwangi yang hari ini sedang beroperasi, tentu juga harus dibaca sebagai tugas Muslim (individu atau kelompok) untuk menjawab tantangan umat. 

Masalahnya, pertama, ada paradoks yang agak sulit diurai antara struktur permukaan (surface structure) dan struktur terdalam (deeper structure), yang meyebabkan seorang Muslim, dalam melaksanakan moderatisme beragama, hanya melulu soal ‘kerukunan’ tetapi gagal mematerialkan kerukunan dalam arti yang lebih diterima oleh masyarakat luas. Bukti kekurangan ini bisa dtelisik pada orientasi moderatisme beragama yang belum menyentuh kebutuhan masyarakat sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. 

Kedua, belum adanya payung hukum moderatisme beragama melalui Peraturan Presiden (Perpres). Maka, meskipun ada penguatan internal dari pihak terkait terhadap moderatisme beragama yang masuk dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, itu tidak ada gunanya. 

Selain karena moderatisme beragama cenderung digunakan oleh sebagian pihak untuk mengintimidasi individu atau kelompok yang dianggap tidak-moderat, dan belum adanya supremasi hukum yang memayungi, peta jalan moderatisme bisa jadi hanya mitos. 

Meskipun dua hal di atas mencakup masalah serius, ia juga jawaban atas belum maksimalnya pelaksanaan moderatisme di Indonesia. Maka untuk memaksimalkan distingsi beragama yang cenderung reaksioner, paradigma ke arah kerukunan dan payung hukum harus benar-benar serius digarap. 

Mengingat isu keagamaan adalah objek paling empuk dan paling mudah disulut melalui narasi radikalisme, masyarakat dan pemerintah terkait perlu paham inti terdalam moderatisme. Sebab, kita tidak mau, isu moderatisme menjadi tema besar populisme untuk menggarap lahan politik pada 2024 nanti. 

Sebagaimana disinggung oleh Alissa Wahid, bahwa penguatan moderasi beragama sesungguhnya berlaku pada semua lapisan bangsa. Terutama, elit politik dan pemangku kebijakan juga perlu mendapat asupan moderasi beragama. Sebab, yang sering berulah adalah elit politik dan pemangku kebijakan, bukan masyarakat di bawah. 

Bayangkan, yang dapat mengubah paradigma moderasi beragama dan menekan terbitnya payung hukum, itu bukan masyarakat biasa. Perlunya menekankan kebutuhan moderasi beragama bagi semua lapisan bangsa, ya di sini; supaya yang jadi objek moderasi beragama bukan hanya sesama masyarakat, tapi dari pemerintah pada masyarakat.

Berita Terbaru

Landmark Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, Elemen Pembentuk Identitas dan Kebanggaan Menuju Fakultas Cendekia, Progresif, Mencerahkan
24 Sep 2024By syariah
Cegah Cyberbullying, Puskapis Fakultas Syariah Gelar Seminar Hukum Hadirkan Ketua Asosiasi Psikologi Islam Jateng
22 Sep 2024By syariah
Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah UIN KHAS Jember Jalani Asesmen Lapangan Targetkan Akreditasi Unggul
21 Sep 2024By syariah

Agenda

Informasi Terbaru

Belum ada Informasi Terbaru
;