syariah@uinkhas.ac.id -

KEDUDUKAN PERMOHONAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

Home >Berita >KEDUDUKAN PERMOHONAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
Diposting : Kamis, 23 Sep 2021, 06:19:22 | Dilihat : 331 kali
KEDUDUKAN PERMOHONAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG


Oleh: Sholikul Hadi, S.H., M.H. Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

 

A. Pengujian UU sebagai Wewenang Utama MK

Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang diatur lebih awal menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang mempunyai alasan dan pertimbangan tertentu yang secara logika MK memiliki wewenang utama untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal ini selaras dengan fungsi utama MK yakni sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution).

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sangat penting bagi negara yang menganut sistem demokrasi dan hukum. Dengan adanya pengujian UU terhadap UUD, undang-undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Selain itu dapat memperkuat prinsip supremasi konstitusi sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Menurut data pada laman resmi Mahkamah Konstitusi, rekapitulasi permohonan pengujian UU sampai dengan tanggal 16 September 2021 sebanyak 1422 (44% dari perkara yang diajukan ke MK). Dari jumlah tersebut, permohonan yang dikabulkan 102 perkara, dikabulkan sebagian 170 perkara, ditolak 511 perkara, tidak dapat diterima 459 perkara, tidak berwenang 12 perkara, gugur 23 perkara, dan ditarik kembali 145 perkara. Berdasarkan data tersebut, sejak berdirinya MK tahun 2003 sampai dengan saat ini sebanyak 272 perkara amar putusannya adalah dikabulkan. Hal ini berarti bahwa paling tidak MK telah 272 kali menyelamatkan bangsa dan negara dari berlakunya suatu norma undang-undang yang inkonstitusional, sekaligus bentuk cheks and balances terhadap lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk UU yakni DPR dan Presiden. Di sinilah perlunya sosialisasi tentang pentingnya pengujian UU kepada masyarakat luas secara lebih massif agar apabila masyarakat selaku warga negara tidak terpenuhi hak-hak konstitusionalnya karena pengaturan suatu undang-undang, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD.

 

B. Kedudukan Permohonan dalam PUU

Lebih lanjut berdasarkan data permohonan PUU di atas, jumlah permohonan tidak dapat diterima 459 perkara atau 32% dari jumlah permohonan PUU. Data tersebut menunjukkan bahwa telah 459 kali permohonan PUU dinyatakan tidak memenuhi ketentuan syarat formil oleh MK. Sedangkan jumlah permohonan PUU yang dinyatakan memenuhi syarat formil dan selanjutnya mendapatkan amar putusan baik dikabulkan maupun ditolak sebanyak 783 kali atau 54% dari jumlah permohonan PUU.

Meskipun jumlah permohonan PUU yang dinyatakan tidak memenuhi ketentuan syarat formil lebih sedikit dibandingkan dengan permohonan PUU yang dinyatakan memenuhi syarat formil yakni terpaut 22%, 459 kali permohonan yang tidak memenuhi syarat formil merupakan jumlah besar. Ini maknanya adalah bahwa telah terjadi 459 kali upaya masyarakat untuk terpenuhinya hak-hak konstitusionalitas sebagai warga negara yang diduga belum dipenuhi oleh undang-undang dan upaya tersebut kandas karena tidak terpenuhinya syarat formil dalam permohonan pengujian UU. Makna lainnya adalah bahwa masih adanya hak-hak konstitusionalitas warga negara belum dipenuhi oleh negara akibat kandasnya permohonan tersebut.

Berdasarkan fakta tersebut maka pentingnya pemohon perlu memastikan bahwa yang bersangkutan memenuhi syarat sebagai pemohon dan memperhatikan “Surat Permohonan” tentang pengujian UU yang diajukan kepada MK agar betul-betul memenuhi syarat formil yang ditentukan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a PMK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UU bahwa dalam hal permohonan tidak tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11 dan/atau Pasal 12, amar putusan, “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”

Pemohon yang dapat mengajukan permohonan pengujian UU adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU atau Perppu yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam UU.

c. Badan hukum publik atau badan hukum privat; atau

d. Lembaga negara.

Sedangkan hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya UU atau Perppu apabila:

a. hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon dirugikan oleh berlakunya UU atau Perppu yang dimohonkan pengujian;

c. kerugian konstitusional bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. ada hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU dan Perppu yang dimohonkan pengujian; dan

e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi atau tidak akan terjadi.

Pengajuan permohonan sekurang-kurangnya terdiri atas permohonan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 1 eksemplar asli yang ditandatangani oleh Pemohon/Kuasa Hukum, foto kopi identitas pemohon, foto kopi identitas kuasa hukum dan surat kuasa, dan/atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Surat permohonan yang dimaksud sekurang-kurangnya memuat identitas pemohon dan/atau kuasa hukum, kewenangan mahkamah, kedudukan hukum pemohon, alasan permohonan dan petitum.

 

C. Masalah Legal Standing

Ketentuan tersebut di atas perlu dipenuhi oleh pemohon agar permohonan dinyatakan diterima dan selanjutnya disidang oleh MK untuk mendapatkan putusan dikabulkan atau ditolak. Dengan demikian permohonan memiliki kedudukan sangat penting dan menentukan dalam pengajuan pengujian UU. Namun masalahnya adalah kedudukan hukum (legal standing) yang berkaiatan dengan “ada hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU dan Perppu yang dimohonkan pengujian” yang dijadikan pertimbangan hakim konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.

Dengan penafsiran bahwa harus adanya hubungan/kaitan sebab akibat langsung antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU dan Perppu yang dimohonkan pengujian (misalnya permohonan pengujian UU Yayasan maka pelaku Yayasan, apabila UU Perseroan Terbatas maka terbatas pada pengelola PT), maka memungkinkan adanya hak-hak konstitusional warga negara tidak terpenuhi. Hal ini akan berdampak pada konsistensi pelaksanaan supremasi konstitusi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya (UU) karena tidak semua warga negara yang berdampak langsung atas pemberlakuan UU menyadari bahwa dirinya sebenarnya memiliki kerugian konstitusional atau bisa jadi mengetahui dan menyadari adanya hak/kewenangan konstitusional akan tetapi segan mengajukan PUU dengan berbagai pertimbangan. Pada umumnya ada tidaknya kerugian hak/kewenangan konstitusional dalam UU biasanya hanya diketahui oleh kalangan tertentu yang memang memiliki perhatian pada konstitusi.

Berdasarkan fakta tersebut perlunya perubahan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang dijadikan dasar MK menentukan kriteria pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 2 Tahun 2021 seperti telah diuraikan di atas. Dengan demikian Pasal 51 ayat (1) UU MK yang berbunyi “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang” diubah menjadi “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara dirugikan oleh berlakunya undang-undang”. Konsep ketentuan tersebut sesuai dengan filosofi pembentukan MK dari aspek hukum yakni terwujudnya supremasi konstitusi.

 

D. Pemahaman Masyarakat tentang PUU

Permasalahan lainnya adalah tingkat pemahaman masyarakat tentang prosedur pengajuan pengujian UU. Jika diamati dari 1422 perkara PUU di MK, pemohon masih dari kelompok masyarakat tertentu dan belum menyentuh sampai masyarakat akar rumput. Padahal kerugian hak konstitusional dapat terjadi tidak hanya dialami kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi juga dirasakan masyarakat luas. Hal tersebut dapat disebabkan rendahnya atau bahkan tidak dimilikinya pemahaman masyarakat tentang bagaimana prosedur dan tata cara permohonan pengujian UU.

Sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah berusaha untuk memberikan pemahaman soal yang dimaksud melalui berbagai media seperti bimbingan teknis, webinar, workshop, website, dan lain-lain. Melalui website https://www.mkri.id, masyarakat dapat mengetahui profil MK, produk MK, dan contoh pengajuan permohonan perkara yang menjadi kewenagan MK termasuk PUU. Selain itu pengajuan PUU juga telah dilakukan secara online melalui https://simpel.mkri.id/. Upaya MK ini patut diapresiasi sebagai bentuk perwujudan reformasi birokrasi dari sisi tranparansi dan kemudahan layanan. Namun demikian, untuk memberikan kemudahan dan pemahaman masyarakat tentang pengajuan permohonan PUU, MK hendaknya lebih gencar memberikan informasi tentang prosedur dan tata cara tentang PUU dan menambah menu “template” pengajuan permohonan PUU. Template tersebut sangat penting untuk membantu masyarakat agar dalam pengajuan permohonan PUU sesuai dengan persyaratan formil.

 

E. Kesimpulan dan Saran

1. Dalam pengajuan permohonan PUU, permohonan memiliki kedudukan yang sangat menentukan atas terpenuhi dan tidaknya persyaratan formil pengajuan tersebut. Oleh karena itu pemohon harus memastikan bahwa permohonannya sesuai dengan ketentuan sehingga dapat dinyatakan memenuhi ketentuan formil oleh MK.

2. Untuk lebih menjamin hak/kewenangan konstitusional warga negara, maka perlunya perubahan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

3. Perlunya memberikan pemahaman tentang prosedur dan mekanisme pengujian UU dengan memanfaatkan website MK.

 

Berita Terbaru

Landmark Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, Elemen Pembentuk Identitas dan Kebanggaan Menuju Fakultas Cendekia, Progresif, Mencerahkan
24 Sep 2024By syariah
Cegah Cyberbullying, Puskapis Fakultas Syariah Gelar Seminar Hukum Hadirkan Ketua Asosiasi Psikologi Islam Jateng
22 Sep 2024By syariah
Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah UIN KHAS Jember Jalani Asesmen Lapangan Targetkan Akreditasi Unggul
21 Sep 2024By syariah

Agenda

Informasi Terbaru

Belum ada Informasi Terbaru
;