syariah@uinkhas.ac.id -

INDONESIA ATUR PENGENAAN PAJAK KARBON MELALUI UU HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN

Home >Berita >INDONESIA ATUR PENGENAAN PAJAK KARBON MELALUI UU HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN
Diposting : Senin, 10 Jan 2022, 13:52:43 | Dilihat : 739 kali
INDONESIA ATUR PENGENAAN PAJAK KARBON MELALUI UU HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN


Oleh: Robiatul Adawiyah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah UIN KHAS Jember dan Anggota Media Center

 

Pandemi Covid-19 sempat memporak-porandakan perekonomian Indonesia. Walaupun begitu, pada akhirnya Indonesia bisa menghadapi dan pulih setahap demi setahap. Sangat tepat jika saat pemulihan ini pemerintah juga menyiapkan pondasi yang kuat demi mencapai visi Indonesia 2045. Pondasi ini bedampak besar dalam hal menguatkan dan meningkatkan pendapatan negara. Pondasi yang dimaksud adalah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi menerbitkan UU HPP pada 7 Oktober 2021. Dalam UU HPP ada pengaturan baru yakni pengenaan pajak karbon. Pada IBFD International Tax Glossary (2015), pajak pada bahan bakar fosil adalah pajak karbon. Sedangkan menurut Tax Foundation (2019), pajak karbon merupakan pajak atas kegiatan ekonomi yang berdampak negatif pada pihak ketiga. Di Indonesia, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada emisi karbon.

Akhir-akhir ini, isu mengenai perubahan iklim semakin ramai diperbincangkan. Pemerintah mengambil langkah dengan penerapan pajak karbon yang bertujuan untuk mengendalikan dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), mitigasi perubahan iklim dan mengubah perilaku ekonomi yang berpotensi menghasilkan GRK sehingga mendorong penggunaan energi hijau (green energy) dan net zero emission.

Pengurangan Emisi Karbon di Indonesia

Indonesia sulit untuk mengurangi emisi karbon sejak ratifikasi Perjanjian Paris tahun 2015. Target pengurangan GRK yang dibuat oleh pemerintah adalah 29 persen dengan usaha sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional. Untuk mengurangi emisi karbon, pemerintah mengambil langkah dengan peningkatan 23 persen porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2025. Pada tahun 2020, angka capaian bauran EBT kurang lebih 11 persen. Jika dikomparasi dengan tahun 2015 baru mencapai 5 persen maka angka ini menunjukkan adanya peningkatan sebanyak 1% dalam 6 tahun.

Dengan target tersebut, pengurangan emisi hanya dengan kebijakan EBT tidak efektif. Sehingga kebijakan pajak karbon ini adalah langkah yang paling tepat untuk mengurangi emisi karbon disamping kebijakan EBT. Dalam penerapan pajak karbon, ada 4 hal yang harus diperhatikan yakni pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC), kesiapan sektor usaha, perkembangan pasar karbon dan kondisi ekonomi.

Pajak karbon dalam UU HPP

Pajak karbon memberikan paradigma baru bagi perpajakan di Indonesia. Indonesia menjadi pelopor pengenaan pajak karbon di negara berkembang. Objek dalam pajak karbon adalah emisi gas rumah kaca. Sedangkan subjeknya adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Tahapan pengenaan pajak karbon yakni Pertama, pada tahap awal di 2021 peningkatan mekanisme perdagangan karbon. Kedua, pada tahun 2022 - 2024, mekanisme pengenaan pajak karbon mengikuti roadmap berdasar pada batas emisi (cap and tax) dan akan diimplementasikan pertama kali pada April 2022 di industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Angka ini terhitung paling kecil jika dibandingkan dengan beberapa negara yang telah menerapkan pajak karbon terlebih dulu.

Negara Tarif Pajak Karbon Satuan Swedia US$137.24 per ton emisi karbon, Swiss US$101.47 per ton emisi karbon, Finlandia US$72.83 per ton emisi karbon untuk bahan bakar transportasi US$62.25 per ton emisi karbon bahan bakar fosil lainnya, Prancis US$52.39 per ton emisi karbon, Singapura US$3.71 per ton emisi karbon, Jepang US$2.61 per ton emisi karbon Data the World Bank per April 2021.

Di Indonesia, sebuah perusahaan tidak akan dibebani dengan pajak karbon apabila berhasil mengurangi jumlah emisi karbon. Sebaliknya, perusahaan yang gagal menurunkan emisi dikenai pajak karbon. Skema ini dikenal dengan carbon trading. Kemudian, sebagai contoh apabila perusahaan A menanam kembali pohon sehingga mereka menciptakan karbon baru maka perusahaan A mendapatkan kredit karbon. Kredit karbon bisa dijual di pasar karbon dibeli oleh perusahaan yang emisinya masih tinggi. Uang hasil trading tadi bisa digunakan pemerintah sebagai resources untuk mendorong ekonomi hijau.

Ketiga, pada tahun 2025 dan seterusnya dilaksanakan implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak. Pajak karbon akan diperkenalkan sebagai bagian dari mekanisme perdagangan karbon. Sertifikat karbon dari hasil pembelian dapat digunakan oleh wajib pajak untuk mengurangi kewajiban pajak karbonnya. Penerimaan negara dari hasil pajak karbon ini nantinya akan kembali dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan.

Ada banyak manfaat yang didapat dari pengenaan pajak karbon yakni industri akan melakukan penghematan dengan menggunakan alat produksi yang ramah lingkungan, mendorong investasi di bidang energi terbarukan dan meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Selain itu, berdasarkan pada data SUSENAS 2019, pajak karbon akan meningkatkan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah sebesar 0.5%.

 

Berita Terbaru

Landmark Fakultas Syariah UIN KHAS Jember, Elemen Pembentuk Identitas dan Kebanggaan Menuju Fakultas Cendekia, Progresif, Mencerahkan
24 Sep 2024By syariah
Cegah Cyberbullying, Puskapis Fakultas Syariah Gelar Seminar Hukum Hadirkan Ketua Asosiasi Psikologi Islam Jateng
22 Sep 2024By syariah
Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah UIN KHAS Jember Jalani Asesmen Lapangan Targetkan Akreditasi Unggul
21 Sep 2024By syariah

Agenda

Informasi Terbaru

Belum ada Informasi Terbaru
;